Ragam Gangguan Berbahasa Afasiologi
(Tinjauan Neurolinguistik)
Abstrak
Perfection of the production, perception, understanding,
and language acquisition is determined by the
physiological and psychological brain (mental) language
users. In neuropsicolinguistic known some language disorders caused by numerous factors or circumstances. Language disorders more complex than just speech
disorders, because involves difficulty communicating and disabling a failure to apply the language skills once acquired. The
discussion will describe the afasiologi that begins
with a review of neurolinguistic mechanisms and language processing.
Furthermore, variety of language disorders are discussed in detail according to the type of lesion or damage.
Keywords: Neuropsikolinguistik, language
disorders, aphasia
PENDAHULUAN
Afasiologi
merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan jenis-jenis
gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang bertanggung jawab
dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan Wernicke.
Afasia
merupakan sejenis penyakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf otak, dengan
itu akan melumpuhkan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi. Masalah afasia
adalah berbeda dengan disleksia. Tanda penting pengidap afasia adalah kesulitan
berkomunikasi secara suara, kesulitan memahami percakapan orang lain, dan
kesulitan untuk membaca dan menulis.Afasia biasanya disebabkan oleh kerusakan
pada pusat bahasa otak dan bisa disebabkan oleh stroke atau cedera fisik.
Tergantung pada daerah dan tingkat cedera, seseorang mungkin bisa berbicara
tetapi tidak menulis, atau sebaliknya, atau memahami ayat yang lebih rumit dari
apa yang mereka mampu hasilkan. Otak anak-anak yang terluka kadang membentuk
kembali untuk menggunakan bagian lain untuk pengolahan suara, dan mendapatkan
kembali fungsi yang hilang; otak orang dewasa kurang "lentur" dan
ketiadaan kemampuan ini.
PEMBAHASAN
I.
Tinjauan Neurolinguistik
Istilah neurolinguistik dan Afasiologi
merupakan isu baru dalam dekade terakhir yang mengkaji dan menguraikan relasi
antara bahasa dan otak. Teknik dan konsep yang berkontribusi pada dua kajian
tersebut diantaranya dari perspektif linguistik, psikolinguistik, neuroatonomi,
kecerdasan buatan, dan bidang medis ( Caplan, 1998). Seluruhnya mengarahkan
pada temuan mengenai gangguan berbahasa berbahasa yang bertujuan pada pemahaman
yang lebih komprehensif tentang relasi bahasa dan otak.
Pada awalnya hubungan antara bahasa
dan otak ditengarai dari adanya kerusakan pada otak yang mempengaruhi kemampuan
berbahasa. Hal ini dikemukakan oleh Edwin Smith, Ilmuwan Amerika, yang
menemukan lembar papirus pada tahun 1862 yang menyebutkan adanya 48 kasus yang
terjadi pada tahun 3000 SM. Kasus ke-22 menjelaskan tentang kerusakan otak
akibat cidera kepala yang mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Inilah
yang kemudian disebut afasia dan disatria, ketidakmampuan mengartikulasikan
ucapan akibat gangguan neuromotorik organ wicara (Gleason& Ratner, 1998).
Perihal
bagaimana otak manusia menghasilkan dan memproses bahasa dikaji dalam
neurolinguistik. Dalam hal ini yang perlu diangkat bukan hanya perbedaan
pengaruh otak kanan dan otak kiri pada perilaku manusia, melainkan bagaimana
secara anatomis hemisfer kanan dan kiri bekerjasama dalam mengolah informasi
kebahasaan. Inilah yang menjadi fungsi utama corpus callosum yang menjadi
panel penghubung kedua sis hemisfer (Schovel, 2004).
Dalam
perkembangan neurolinguistik, menurut Caplan 1998 terdapat beberapa pandangan yang memperkaya analisa gangguan berbahasa yang
menjadi fokus linguistik afasiologi. Pandangan tersebut antara lain:
1.
Argumen linguistik dan psikolinguistik mengenai struktur syaraf.
Relasi
bahasa dan otak diawali dengan temuan sigmund Freud mengenai makna kata yang
menyangkut hubungan spesifik modalitas ganda sehingga melibatkan wilayah bahasa
yang luas di otak. Temuan tersebut ditindaklanjuti Carl Wenicke yang
menyimpulkan bahwa pencitraan sensorik mengenai suatu kata muncul secra alamiah
pada saat menghasilkan tutur yang juga melibatkan refleks auditori hingga
reflek motorik. Argumen ini terus dikembangkan oleh linguis kontemporer terkait
dengan keunikan susunan syaraf manusia pada wilayah kebahasaan yang tidak dapat
ditemukan pada struktur otak spesies lain.
2.
Argumen struktur dan fungsi syaraf terkait dengan hakikat bahasa dan
proses syaraf kebahasaan.
Menindaklanjuti
pendapat Wernicke, Jackson mengembangkan konsep hirarki struktur syaraf
kebahasaan dan menghubungkannya dengan ketidakmampuan menggunakan bahasa secara
bermakna, sesuai, Fleksibel dan inovatif. Analisa lebih jauh mengenai
permasalahan umum neuropsikologi bahasa juga dilakukan oleh A.R. Luria. Meurut
temuannya, lesi pada wilayah kebahasaan di otak menyebabkan hilangnya aspek
predikat dan fungsi dinamis kata-kata/
3.
Argumen struktur paralel
Argumen
ini menggabungkan dua pemikiran di atas. N. Geschwind menyatakan bahwa penamaan
objek berhubungan dengan kerja lobus parietal otak manusia. Pada spesies lain,
asosiasi antara objek dan labelnya diolah dalam lobus limbik yang berfungsi
utama pada pemenuhan kebutuhan fisik seperti lapar-haus. Adapun pada manusia,
stimuli kortikal berasosiasi dengan auditori dan visual sehingga kemampuan
linguistiknya sangat kompleks.
4.
Hasil analisis penyakit pada otak.
Hubungan
antara bahasa dan otak makin menguat dengan adanya temuan empirik mengenai
hasil analisis penyakit pada otak. Hal ini juga menjelaskan gangguan bahasa
yang muncul berdasarkan perbandingan antra ketidaknormalan struktur otak dn
kesulitan berbahasa yang terjadi.
Cidera pada otak berakibat fatal
terhadap perkembangan dan kemampuan berbahasa . Adanya kelainan dalam sistem
otak yang kompleks dipelajari dalam relasi neuropatologi gangguan komunikasi.
Gleason & Ratner (1998:70) menjelaskan bahwa terdapat penyebab lesi pada
otak yang tidak saja disebabkan trauma tetapi juga karena adanya penyakit cerebrovascular.
Penyakit tersebut membunuh jaringan saraf dan memotong aliran darah ke otak
yang sejatinya membutuhkan suplai glukosa dan oksigen. Penyakit lain seperti
tumor dan hydrocephalus, menggerogoti jaringan syaraf sehingga fungsinya
terganggu. Adapun multiple sclerosis mengikis lapisan myelin pada otak sehingga
hubungan antar syaraf terganggu. Penyakit Huntington Parkinson juga
mengakibatkan ketidaksinkronan hubungan antar syaraf. Relasi antara
neuropatologi dan gangguan berkomunikasi diringkas dalam tabel berikut:
Jenis Neuropatologi
|
Jenis Gangguan Berkomunikasi
|
Penyakit cerebrovascular
(heorrhage,aneurysm,arteriovenous malformation
|
Afasia,
disatria,Dimensia
|
Penyakit degeneratif (Alzheimer)
|
Demensia
|
Trauma di kepala
|
Afasia,
Disatria, kebingungan berbahasa
|
Parkinson
|
Dimensia,disetria
|
Mutiple sclerosis
|
Disatria
|
Hidrosefalus
|
Afasia
|
Tumor
|
Afasia dan
atau disatria
|
Huntington
|
Dimensia
dan atau disatria
|
Ataksia hereditas
|
Disatria
|
Amyotropic lateral sclerosis
|
Disatria
|
Myasthenia gravis
|
Disatria
|
Beberapa riset mutakhir makin
menguatkan asumsi relasi bahasa dan otak. Salah satunya yaitu kajian mendalam
yang dilakukan oleh Herbert dkk.(2002). Ditemukan ketidaknormalan ukuran
asimetri korteks otak yang berperan dalam pemrosesan bahasa pada penyandang
autisme. Penelitian tersebut membandingkan antara belahan otak atau hemisfer
pada 16 remaja pria autisme non verbal dibandingkan remaja pria normal.
Autisme, yang lebih banyak di sandang anak laki-laki, mempengaruhi fungsi
kognisi, bahasa dan sosial anak, yang dicurigai berpangkal dari ketidaknormalan
pola struktur otak yang berakibat pada dominasi fungsi hemisfer utamanya yang
terkait dengan fungsi kebahahasaan.
Terjadi kebalikan asimetri antara
hemisfer kanan dan kiri pada area Broca. Pada remaja autis area frontal
hemisfer kanan lebih besar 27% sedangkan pada remaja normal area frontal
hemisfer kiri justru lebih besar 17%. Adapun pada area Wernicke juga
menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada remaja autis area posterior
hemisfer kanan lebih besar 39% sedangkan pada remaja normal area tersebut hanya
lebih besar 2%. Perbedaan volume otak juga mempengaruhi sirkulasi darah pada
serebral terkait dan berimbas pada mekanisme koordinasi stimuli kebahasaan.
Ketidak normalan struktur dan
volume hemisfer berakibat pada gangguan berbahasa dan berkomunikasi yang
menjadi hambatan utama penyandang autisme dan Specific language Impairment.
Bahkan pada individu dewas penyandang Asperger Syndrome yang termasuk high
functioning autism, hal ini berimbas pada kemampuan sosialnya. Asimetri
hemisfer yang tidak normal menyulitkan fungsi-fungsi kebahasaan berikut:
1. Fungsi
pragmatik (penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial, memperhatikan
kebutuhan lawan bicara).
2. Fungsi
Semantik ( memaknai berbagai ragam kata sesuai konteks).
3. Fungsi
Fonologis (penggunaan Prosodi yang sesuai seperti intonasi yang tepat untuk
menyampaikan maksud yang berbeda).
4. Fungsi
komunikasi non-verbal (kemampuan membaca mimik muka lawan biacra dan
memanipulasi ekspresi wajahnya untuk menyampaikan pesan dalam konteks sosial
yang bervariasi).
II. Afasiologi
Gangguan berbahasa dapat bersifat lebih kompleks dari pada sekedar
gangguan berbicara sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya karena
gangguan ini melibatkan kesulitan berkomunikasi dan penyandangnya mengalami
kegagalan menerapkan kemampuan bahasa yang pernah diperolehnya. Pemerolehan
bahasa yang merupakan proses serebral yang menyangkut proses ekspresi verbal
dan komprehensi auditorik, membutuhkan kesempurnaan kinerja neuron meliputi
penyimpanan masukan linguistik dan mengeluarkan kembali masukan tersebut, serta
mengalihkan konsep linguistik yang tersimpan dalam bentuk kode ke dalam bentuk
ekspresif saat berkomunikasi dengan orang lain.
Proses
di atas dalam neurologi termasuk fungsi luhur atau fungsi kortikal yang
meliputi fungsi bahasa, persepsi, memori, emosi dan kognitif. Dengan mengetahui
gangguan fungsi tersebut, maka gejala elementer yang muncul dapat di pergunakan
untuk menetapkan adanya kerusakan di otak. Kerusakan tersebut selain diketahui
dari observasi klinis juga melalui tes psikometrik ( contoh: Ravens Progreesive
Matrices). Sebagai tahap terakhir pemeriksaan untuk mengetahui gangguan bahasa
perlu dilakukan tes afasia (contoh: Token Test) yang melibatkan ahli bina
wicara (kusumoputro & sidiarto, 1984).
Afasiologi
merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan
jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang
bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan
Wernicke.
Gangguan
berbahasa tidak semata-mata terjadi akibat adanya lesia pada hemisfer kiri.
Dominasi Hemisfer juga dapat mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pada anak.
Doman menemukan bahwa bahasa berfungsi pada hemisfer yang dominan,
ketidakmampuan untuk mengendalikan organ juga berpengaruh terhadap kegiatan
yang terkait kebahasaan termasuk menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Artinya, supaya efisien anak yang kidal lebih dominan menggunakan tangan kiiri,
kaki kiri, telinga kiri, dst. Demikian pula pada anak yang cenderung
menggunakan bagian tubuhnya sebelah kanan. Proses penentuan dominasi ini
terjadi hingga usia enam tahun.( dalam Bogdashina, 2005).
Pada
anak dengan gangguan tumbuh kembang dapat terjadi kekacauan dominasi hemidfer.
Anak menerima infomasi pada satu sisi hemisfer tetapi disimpan di hemisfer yang
lain yang kemudian tidak dapat diakses kembali.
Kekacauan
dominasi hemisfer dan alur akses informasi akibat gangguan tumbuh kembang
disebbkan terlambatnya prose lateralisasi serebral. Hal ini kerap terjadi pada
penyandang spektrum autisme. Anak-anak autis mengalami mengalami masalah
integrasi hemisfer kanan-kiri. Apabila pada kebanyakan orang pemrosesan bahasa
dapat terjadi secara langsung, pada anak autis hal ini membutuhkan upaya yang
sangat keras. Dari hasil proses berfikir diubah menjadi tutur verbal adalah hal
yang sulit sehingga perlu strategi kompensasi.
Salah
satu strategi kompensasi yaitu dengan membeo atau meniru tutur orang lain yang
di hafalkan anak. Contoh: Alex bertanya kepada ibunya,’’mau kentang goreng?
Dengan maksud bukan menawari kentang pada ibunya tapi dia menunggu respon
balasan dari ibunya dengan pertanyaan yang sama. Ketika ibunya merespon” oh,
Alex mau ibu ambilkan kentang goreng?”. Alex pun langsung menjawab”ya”
(Bogdashina, 2005:150). Alex gagal menyimpan informasi bagaimana meminta
sesuatu tetapi yang diingat adalah kalimat menawarkan sesuatu.
III.
Penyebab Afasia
Munculnya
Afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam otak. Menurut
strukturnya, otak manusia terbagi menjadi dua sisi (hemisfer), yaitu hemisfer
kiri dan kanan. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa hemisfer kiri
dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan hemisfer kanan
dalam aktifitas nonverbal. Kemampuan verbal termasuk salah satu wujud proses
mental tingkat tinggi yang banyak tergantung pada korteks serebral (cerebral
cortex) terbagi menjadi dua hemisfer. Salah satu bukti bahwa aktifitas
berbahasa dikendalikan oleh hemisfer kiri, yaitu hasil beberapa kajian yang
menemukan bahwa pada umumnya gangguan atau cedera pada daerah tertentu pada
hemisfer kiri otak cenderung diikuti oleh terjadinya afasia, sementara cedera
pada hemifer kanan tidak.
IV. Jenis-Jenis
Afasia
Secara garis besar afasia terbagi menjadi ketidakmampuan ekspresif atau
afasia motorik dan ketidakmampuan reseptif atau afasia sensorik. Adapun
beberapa varian afasia secara rinci dijelaskan berikut ini.
1.
Afasia Motorik
Kerusakan pada lapisan
permukaan daerah Broca (Lesikortikal), atau lapisan bawah daerah Broca (Lesi
subkortikal), maupun
daerah antara Broca dan Wernicke (Lesi transkortikal) dapat menyebabkan afasia motorik
sebagai berikut:
a)
Afasia motorik kortikal (Afasia
Broca)
Penderitannya mengalami kegagalam dalam menggunakan perkataan untuk
mengutarakan maksud secara verbal. Sebagai pilihannya penderita dapat
menggunakan ekspresi visual berupa tulisan atau isyarat. Adapun kemapuannya
dalam memahami bahasa lisan dan bahasa tulisan tidak mengalami kendala.
Kesulitan utamanya
adalah dalam berbicara spontan, bicaranya lambat, terbata-bata, monoton,
menggunakan kalimat pendek. Meskipun penyimakan bahasa secara umum baik, namun
muncul kesulitan memahami kalimat dengan struktur kompleks. Pengulangan kalimat
cenderung buruk dan penyebutan nama benda juga buruk. Hal ini di sebabkan
kerusakan atau lesi di bagian anterior.
b)
Afasia motorik subkortikal
(Afasia Wernicke)
Penderita dapat memahami bahasa baik verbal maupun visual serta dapat berekspresi
secara visual melalui tulisan atau isyarat. Namun kemampuannya menghilang dalam
mengeluarkan pikiran dengan perkataan selain dengan cara membeo atau berceloteh
tanpa makna yang jelas.
Akibat lesi posterior di otak, penderitanya menunjukkan ciri bicara
spontan dengan cepat dan kadang-kadang terlalu cepat namun tak berarti, lagu
atau intonasi kalimat baik dan panjang kalimat cukup. Sering memnuculkan
kata-kata baru atau neologisme. Meskipun nampaknya fasih, penderita sangat
buruk dalam menyimak bahasa. Tulisannya jelek. Sama halnya dengan afasia Broca,
penderitanya mengalami pengulangan kalimat dan penyebutan nama benda yang juga
buruk.
c)
Afasia motorik transkortikal
(Afasia konduksi)
Penderitanya mengalami gangguan
dalam menghubungkan antara pengertian bahasa dan ekspresi bahasa. Misalnya
penderita diminta mengambil pulpen, dia akan mampu mengenali benda tersebut dan
mengambilnya. Tetapi bila di minta melabel nama benda tersebut, perkataan yang
muncul bukan pulpen melainkan “tu,tu,tu,tulis”. Demikian juga jika diminta
mengambil kursi dan menyebut nama benda yang diambilnya tersebut, maka yang
muncul” du,du, duduk”. Kegagalan dalam hal leksikon ini juga disebut nominatif.
Penderita
dapat berbicara dengan asih, penyimakan dan penyebutan nama tidak terhambat,
hanya mengalami kesulitan dalam pengulangan kalimat. Ini disebabkan cidera pada
jarak antara wilayah Broca dan Wernicke.
2.
Afasia Sensorik
Gangguan berbahasa tipe ini disebabkan oleh adanya kerusakan pada daerah
Wernicke (Arifuddin,2010) tepatnya didaerah lesikortikal. Penderitanya
mengalami kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun dia masih
dapat mengupayakan curah verbal dengan membentuk kata-kata baru yan bisa jadi
tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Kata-kata baru tersebut
muncul tidak beraturan karean tidak mirip atau sesuai dengan perkataan bahasa
apapun. Bahasa baru atau perkataan yang asing tersebut merupakan neologisme
bertolak dari ketidak mampuan memahami apa yang di dengar maupun apa yang
diucapkannya sendiri.
Gangguan ini sangat kompleks
karena adanya kerusakan pada leksikortikal yang merupakan kawasan asosiatif
antara visual, sensorik, motorik dan pendengaran. Tidak hanya mengalami
kesulitan mendengar tapi penegrtian dari yang dilihat pun terganggu. Pada
penderita dengan pengertian visual yang tidak terlalu parah masih dapat
diupayakan berkomunikasi secara non-verbal melalui media gambar yang sederhana.
3.
Afasia Nominal (anomik)
Penderita
dapat berbicara secara spontan dan lancar. Kemampuan menyimak dan mengulang
kata juga baik. Hanya bermasalah dalam penyebutan nama benda. Pada afasia
jenis, penderita tidak mempunyai letak lesi yang tetap di otak.
4.
Afasia Global
Penderita
mengalami kesulitan yang kompleks akibat kerusakan pada seluruh hemisfer kiri.
Buruk dalam berbicara spontan atau tidak fasih, tidak dapat menyimak dan
mengulang kalimat. Sangat buruk dalam penyebutan nama benda.
Obler& Gjerlow (2000:40) meringkas simtom afasia diatas dalam tabel
berikut:
Afasia
|
Produksi bahasa
|
Pemahaman
|
Pengulangan kata
|
Pelabelan
|
Lesi/ cidera di ota
|
Broca
|
Tidak fasih
|
Baik
|
Buruk
|
Buruk
|
anterior
|
Wernicke
|
fasih
|
Buruk
|
Buruk
|
Buruk
|
posterior
|
Konduksi
|
fasih
|
Baik
|
Buruk
|
Buruk
|
Arcuate fasciculus
|
Anomik
|
Fasih substitusi kata yang dimaksud
|
Baik
|
Baik
|
Buruk
|
Tidak menetap/di segala posisi
|
Global
|
Tidak mampu
|
Buruk
|
Buruk
|
Buruk
|
luas
|
Motorik transkortikal
|
sedikit
|
Baik
|
Baik
|
TidakBuruk
|
Diluar lobus frontal
|
Sensorik transkortikal
|
fasih
|
Buruk
|
Baik
|
Buruk
|
Diluar lobus parietalis
|
5.
Afasia pasca stroke
Afasia atau gangguan ekspresi
verbal dan nonverbal sering dijumpai pada penderita stroke. Stroke adalah
gangguan peredaran darah diotak yang selain mengakibatkan gejala kelumpuhan
juga berdampak pada cacat bicara apabila stroke menyerang hemisfer kiri.
Penderitanya sering mengandalkan komunikasi nonverbal dengan menggunakan bagian
tubuhnya (gestural). Sebaliknya, Penderita stroke lebih memahami pembicaraan
orang lain apabila menggunakan gabungan ekspresi verbal/ lisan dengan
non-verbal/ gestural.
Berbeda halnya apabila stroke menyerang hemisfer kanan. Penderitanya
tidak mengalami kesulitan ekspresi verbal. Secara linguistik, ekspresi
verbalnya benar namun tuturnya tidak disertai ekspresi nonverbal sehingga
bahasanya terkesan monotan, datar, tanpa disertai gerakan tangan, muka atau
mata (Cummings,1985). Perbedaan tersebut karena organisasi serebral yang
berbeda. Hemisfer kiri berperan pada kemampuan linguistik seperti fungsi
fonologis, morfologis, sintaksis dan semantik. Adapun Hemisfer kanan lebih
berperan pada fungsi pragmatik yang mencakup gestur non verbal, melodi
penekanan suara, mimik muka dan kontak mata.
Penelitian yang dilakukan terhadap penderita stroke hemisfer kiri
menunjukkan cacat ekspresi verbal secara fonologis dan leksikal. Adapun cacat
gramatikal dan pragmatis dapat berangsur-angsur berkurang seiring keberhasilah
terapi (Sastra dkk,2001). Cacat fonologis muncul akibat terganggunya
efektivitas lidah, kekakuan labial dan bilabial. Kebanyakan konsonan seperti
/d,l,s,k,r/ akan berubah menjadi plosif /h/ yang lebih mudah diucapkan. Fonem
/p/ menjadi /f/. Pada pengulangan leksikal sering muncul penghilagan akibat
terganggunya fungsi koordinasi syaraf baik sensorik maupun motorik. Syaraf
sensorik mengantarkan rangsangan dari susunan syaraf pusat ke efektor atau
penggerak pada otot/ kelenjar. Akibatnya terjadi pelepasan morfem baik yang
berada diawal, tengah ataupun akhir kata.
Selain cacat ekspresi fonologis dan leksikal, muncul gejala agramatisme
atau struktur kalimat tidak sesempurna bentuk yang terdeteksi dari kesalahan
memberi makna pada ujaran yang diberikan. Misalnya: kalimat”ini tidak dimakan
ya” direspon dengan tindakan memakan makanan yang dimaksud, kalimat” belok
kanan ya” direspon dengan tindakan berbelok ke kiri. Artinya penderita memahami
ujaran dengan lawan kata makna yang dimaksud. Demikian pula dalam penyusunan kata
masih sering terjadi pembalikan seperti” nasi-makan-belum-saya” yang diucapkann
dengan keterbatasan fonologisnya untuk maksud” saya belum makan nasi”
Gejala ekolalia kerap muncul, yaitu mengulang suku kata. Berbeda dengan
penyandang gagap bicara, ekolalia yang muncul akibat gangguan psikologis dan
sering lupa. Apa yang sudah di ujarkan seringkali tidak didiingat penderita
lagi sehingga memunculkan kesalahan penafsiran. Apabila suku kata petama
mengandung konsonan yang sulit diucapkan, pengulangan suku kata akan terjadi
berkali-kali dengan diiringi ekspresi non-verbal.
6.
Afasia pada bilingual
Pada
awalanya diasunsikan bahwa kemampuan linguistik semua bahasa yang di peroleh
akan diproses pada jaringan sel otak yang sama sehingga cidera otak akan
mengganggu semua bahasa tersebut tersebut. Namun demikian hal ini tidak
selamanya demikian berdasarkan hasil riset. Afasia pada bilingual memunculkan
fenomena yang menarik. Charlton meneliti afasia bilingual pada sembilan
penderita yang mengalami gangguan bahasa yang bersifat paralel, tujuh diantara
mereka akhirnya pulih. Paradis melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita
mengalami gangguan pada semua bahasanya. Apabila pulih diawali dari satu bahasa
yang paling sering digunakannya yang kemudian secara bertahap semua bahasa yang
dikuasainya akan pulih (dalam Obler & Gjerlow, 2000).
Pada kasus
yang lain, pemulihan bahasa pada penderita afasia bilingual tidak selalu
paralel karean dipengaruhi faktor kebiasaan. Minkowski menemkan kasus afasia
bilingual pasca stroke yang dapat pulih bahasa keduanya (Prancis dan jerman
standar), adapun bahasa ibunya (Jerman Swiss) sepenuhnya hilang. Albert&
Obler melaporkan kasus afasia bilingual pada penderita tumor yang fasih dalam
bahasa keempatnya (Ibrani), masih sedikit mengingat bahasa pertama (Hungaria)
dan keduanya (Prancis), sedangkan bahasa ketiganya (Inggris) hilang. Pada kedua
kasus tersebut bahasa yang pulih adalah yang lebih biasa di pakai saat
menjelang terjadinya afasia (dalam Obler&Gjerlow, 2000).
Afasia
bilingual jga dapat terjadi pada bahasa isyarat. Haglund mengamati afasia
bilingual pada seorang wanita yang sebelum terserang sakit kejang menguasai
bahasa Inggris dan ASL (American Sign Language) yang didapatnya sejak kecil
karena kakaknya tunarungu. Kemampuannya melabel benda baik dalam bahasa Inggris
maupun ASL terganggu. Lesi pada area Broca menyebabkan gangguan berbahasa
Inggris dan produksi ASL. Setelah menjalani operasi pada lobus temporalis
anterior kemampuan menghasilkan gesture mulai pulih meskipun masih bermasalah sedangkan
kemampun eja jarinya sedikit terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa area lobus
temporalis anterior lebih berperan dalam bahasa isyarat dari pada bahasa lisan
(dalam Obler &Gjerlow, 2000)
7.
Afasia Progresif
Afasia
progresif tidak terjadi sebagai akibat stroke atau cidera otak melainkan muncul
akibat serangan penyakit pada otak. Gejalanya mirip dengan penderita Dementia
namun tidak diiringi dengan perubahan kognitif. Dalam berbahasa tidak muncul
kesulitan pemahaman namun menemui kendala dalam menemukan kata-kata yang tepat
(finding words) dalam senarai kosa kata yang tidak lazim dipakai,contoh:
disertasi, jarum, musang, dll. Penederita afasia progresif juga kesulitan dalam
mengeja secara tepat.
Secara umum afasia memiliki
perbedaan yang cukup signifikan jika di bandingkan dengan gangguan berbahasa
lainnya sebagaimana yang dikategorikan berikut ini oleh Goorhuis&
Schaerlaekens dalam Tiel (2010)
Afasia
|
Gangguan bahasa
spesifik(Specific language impairment)
|
Gangguan bahasa non Spesifik
|
Hilang secara tiba-tiba
kemampuan bicara dan berbahasa
Gejala
yang menunjukkan adanya cedera otak
|
Perkembangan tidak mencukupi
(adekuat) dalam perkembangan bicara dan bahasa
Perkembangan
yang berbeda namun sesungguhnya masih merupakan perkembangan yang normal
|
Perkembangan yang tidak
mencukupi (Adekuat) dalam perkembangan bicara dan bahasa)
-kurang pendengaran
-Retardasi mental
-Masalah-Masalah neurologik dan
psikiatrik anak
-Gangguan sosial
Gangguan kesehatan
|
KESIMPULAN
Neurolinguistik dan Afasiologi merupakan isu baru dalam dekade terakhir
yang mengkaji dan menguraikan relasi antara bahasa dan otak. Teknik dan konsep
yang berkontribusi pada dua kajian tersebut diantaranya dari perspektif
linguistik, psikolinguistik, neuroatonomi, kecerdasan buatan, dan bidang medis. Seluruhnya mengarahkan pada temuan mengenai
gangguan berbahasa berbahasa yang bertujuan pada pemahaman yang lebih
komprehensif tentang relasi bahasa dan otak.
Afasiologi merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang
menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri
yang bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca
dan Wernicke.
Penyebab
Afasia
Munculnya Afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam
otak. Menurut strukturnya, otak manusia terbagi menjadi dua sisi (hemisfer),
yaitu hemisfer kiri dan kanan. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa
hemisfer kiri dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan
hemisfer kanan dalam aktifitas nonverbal.
Jenis-Jenis
Afasia
Afasia
Motorik, Afasia Sensorik, Afasia Nominal (anomik), Afasia Global, Afasia pasca
stroke, Afasia pada bilingual, Afasia Progresif
DAFTAR
PUSTAKA
Bogdashina,o,2005,
Communication Issues in Autism and as perger syndrome: Do we Speak the some
language. London: Jessica kingsley Publisher.
Cummings,J.L.1985.
Hemispheric Specialization: A History of current concep. Clinical Management
of Right Hemisphere Dysfunction. Maryland: Aspen System Co.
Caplan,
D.1998 Neurolinguistics and linguistics Aphasiology. An Introduction.
Cambridge: The Press Syndicate of the University of Combridge.
Gleason,J.&Ratner,
M. 1998 Psycholinguistics: 2nd edition, Victoria: wadsworth thomson
learning.
Kusumoputro, S,& Sidiarto,L. 1984. Gangguan
bahasa. Persepsi dan memori pada kelainan otak. Cermin Dunia Kedokteran.
Obler,
L.K& Glerlow, k.2000 language and the Brain. Cambridge: university
Press.
Schovel,
T.2004. Psycholinguistics: oxford introductions to language study.
Oxford: Oxford University Press.