Selasa, 05 Maret 2013

Ragam Gangguan Berbahasa Afasiologi (Tinjauan Neurolinguistik)



Ragam Gangguan Berbahasa Afasiologi
(Tinjauan Neurolinguistik)


Abstrak

Perfection of the production, perception, understanding, and language acquisition is determined by the physiological and psychological brain (mental) language users. In neuropsicolinguistic known some language disorders caused by numerous factors or circumstances. Language disorders  more complex than just speech disorders, because involves difficulty communicating and disabling a failure to apply the language skills once acquired. The discussion will describe the afasiologi that begins with a review of neurolinguistic mechanisms and language processing. Furthermore, variety of language disorders are discussed in detail according to the type of lesion or damage.
Keywords: Neuropsikolinguistik, language disorders, aphasia

PENDAHULUAN

            Afasiologi merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan Wernicke.
   Afasia merupakan sejenis penyakit yang disebabkan oleh kerusakan saraf otak, dengan itu akan melumpuhkan kemampuan seseorang untuk berkomunikasi. Masalah afasia adalah berbeda dengan disleksia. Tanda penting pengidap afasia adalah kesulitan berkomunikasi secara suara, kesulitan memahami percakapan orang lain, dan kesulitan untuk membaca dan menulis.Afasia biasanya disebabkan oleh kerusakan pada pusat bahasa otak dan bisa disebabkan oleh stroke atau cedera fisik. Tergantung pada daerah dan tingkat cedera, seseorang mungkin bisa berbicara tetapi tidak menulis, atau sebaliknya, atau memahami ayat yang lebih rumit dari apa yang mereka mampu hasilkan. Otak anak-anak yang terluka kadang membentuk kembali untuk menggunakan bagian lain untuk pengolahan suara, dan mendapatkan kembali fungsi yang hilang; otak orang dewasa kurang "lentur" dan ketiadaan kemampuan ini.
PEMBAHASAN

I.     Tinjauan Neurolinguistik

          Istilah neurolinguistik dan Afasiologi merupakan isu baru dalam dekade terakhir yang mengkaji dan menguraikan relasi antara bahasa dan otak. Teknik dan konsep yang berkontribusi pada dua kajian tersebut diantaranya dari perspektif linguistik, psikolinguistik, neuroatonomi, kecerdasan buatan, dan bidang medis ( Caplan, 1998). Seluruhnya mengarahkan pada temuan mengenai gangguan berbahasa berbahasa yang bertujuan pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang relasi bahasa dan otak.
          Pada awalnya hubungan antara bahasa dan otak ditengarai dari adanya kerusakan pada otak yang mempengaruhi kemampuan berbahasa. Hal ini dikemukakan oleh Edwin Smith, Ilmuwan Amerika, yang menemukan lembar papirus pada tahun 1862 yang menyebutkan adanya 48 kasus yang terjadi pada tahun 3000 SM. Kasus ke-22 menjelaskan tentang kerusakan otak akibat cidera kepala yang mengakibatkan hilangnya kemampuan berbicara. Inilah yang kemudian disebut afasia dan disatria, ketidakmampuan mengartikulasikan ucapan akibat gangguan neuromotorik organ wicara (Gleason& Ratner, 1998).
            Perihal bagaimana otak manusia menghasilkan dan memproses bahasa dikaji dalam neurolinguistik. Dalam hal ini yang perlu diangkat bukan hanya perbedaan pengaruh otak kanan dan otak kiri pada perilaku manusia, melainkan bagaimana secara anatomis hemisfer kanan dan kiri bekerjasama dalam mengolah informasi kebahasaan. Inilah yang menjadi fungsi utama corpus callosum yang menjadi panel penghubung kedua sis hemisfer (Schovel, 2004).
            Dalam perkembangan neurolinguistik, menurut Caplan 1998 terdapat beberapa pandangan yang memperkaya analisa gangguan berbahasa yang menjadi fokus linguistik afasiologi. Pandangan tersebut antara lain:
1.      Argumen linguistik dan psikolinguistik mengenai struktur syaraf.
Relasi bahasa dan otak diawali dengan temuan sigmund Freud mengenai makna kata yang menyangkut hubungan spesifik modalitas ganda sehingga melibatkan wilayah bahasa yang luas di otak. Temuan tersebut ditindaklanjuti Carl Wenicke yang menyimpulkan bahwa pencitraan sensorik mengenai suatu kata muncul secra alamiah pada saat menghasilkan tutur yang juga melibatkan refleks auditori hingga reflek motorik. Argumen ini terus dikembangkan oleh linguis kontemporer terkait dengan keunikan susunan syaraf manusia pada wilayah kebahasaan yang tidak dapat ditemukan pada struktur otak spesies lain.
2.      Argumen struktur dan fungsi syaraf terkait dengan hakikat bahasa dan proses syaraf kebahasaan.
Menindaklanjuti pendapat Wernicke, Jackson mengembangkan konsep hirarki struktur syaraf kebahasaan dan menghubungkannya dengan ketidakmampuan menggunakan bahasa secara bermakna, sesuai, Fleksibel dan inovatif. Analisa lebih jauh mengenai permasalahan umum neuropsikologi bahasa juga dilakukan oleh A.R. Luria. Meurut temuannya, lesi pada wilayah kebahasaan di otak menyebabkan hilangnya aspek predikat dan fungsi dinamis kata-kata/
3.      Argumen struktur paralel
Argumen ini menggabungkan dua pemikiran di atas. N. Geschwind menyatakan bahwa penamaan objek berhubungan dengan kerja lobus parietal otak manusia. Pada spesies lain, asosiasi antara objek dan labelnya diolah dalam lobus limbik yang berfungsi utama pada pemenuhan kebutuhan fisik seperti lapar-haus. Adapun pada manusia, stimuli kortikal berasosiasi dengan auditori dan visual sehingga kemampuan linguistiknya sangat kompleks.
4.      Hasil analisis penyakit pada otak.
Hubungan antara bahasa dan otak makin menguat dengan adanya temuan empirik mengenai hasil analisis penyakit pada otak. Hal ini juga menjelaskan gangguan bahasa yang muncul berdasarkan perbandingan antra ketidaknormalan struktur otak dn kesulitan berbahasa yang terjadi.


Cidera pada otak berakibat fatal terhadap perkembangan dan kemampuan berbahasa . Adanya kelainan dalam sistem otak yang kompleks dipelajari dalam relasi neuropatologi gangguan komunikasi. Gleason & Ratner (1998:70) menjelaskan bahwa terdapat penyebab lesi pada otak yang tidak saja disebabkan trauma tetapi juga karena adanya penyakit cerebrovascular. Penyakit tersebut membunuh jaringan saraf dan memotong aliran darah ke otak yang sejatinya membutuhkan suplai glukosa dan oksigen. Penyakit lain seperti tumor dan hydrocephalus, menggerogoti jaringan syaraf sehingga fungsinya terganggu. Adapun multiple sclerosis mengikis lapisan myelin pada otak sehingga hubungan antar syaraf terganggu. Penyakit Huntington Parkinson juga mengakibatkan ketidaksinkronan hubungan antar syaraf. Relasi antara neuropatologi dan gangguan berkomunikasi diringkas dalam tabel berikut:

Jenis Neuropatologi
Jenis Gangguan Berkomunikasi
Penyakit cerebrovascular (heorrhage,aneurysm,arteriovenous malformation
Afasia, disatria,Dimensia
Penyakit degeneratif (Alzheimer)
Demensia
Trauma di kepala
Afasia, Disatria, kebingungan berbahasa
Parkinson
Dimensia,disetria
Mutiple sclerosis
Disatria
Hidrosefalus
Afasia
Tumor
Afasia dan atau disatria
Huntington
Dimensia dan atau disatria
Ataksia hereditas
Disatria
Amyotropic lateral sclerosis
Disatria
Myasthenia gravis
Disatria


Beberapa riset mutakhir makin menguatkan asumsi relasi bahasa dan otak. Salah satunya yaitu kajian mendalam yang dilakukan oleh Herbert dkk.(2002). Ditemukan ketidaknormalan ukuran asimetri korteks otak yang berperan dalam pemrosesan bahasa pada penyandang autisme. Penelitian tersebut membandingkan antara belahan otak atau hemisfer pada 16 remaja pria autisme non verbal dibandingkan remaja pria normal. Autisme, yang lebih banyak di sandang anak laki-laki, mempengaruhi fungsi kognisi, bahasa dan sosial anak, yang dicurigai berpangkal dari ketidaknormalan pola struktur otak yang berakibat pada dominasi fungsi hemisfer utamanya yang terkait dengan fungsi kebahahasaan.
Terjadi kebalikan asimetri antara hemisfer kanan dan kiri pada area Broca. Pada remaja autis area frontal hemisfer kanan lebih besar 27% sedangkan pada remaja normal area frontal hemisfer kiri justru lebih besar 17%. Adapun pada area Wernicke juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada remaja autis area posterior hemisfer kanan lebih besar 39% sedangkan pada remaja normal area tersebut hanya lebih besar 2%. Perbedaan volume otak juga mempengaruhi sirkulasi darah pada serebral terkait dan berimbas pada mekanisme koordinasi stimuli kebahasaan.
Ketidak normalan struktur dan volume hemisfer berakibat pada gangguan berbahasa dan berkomunikasi yang menjadi hambatan utama penyandang autisme dan Specific language Impairment. Bahkan pada individu dewas penyandang Asperger Syndrome yang termasuk high functioning autism, hal ini berimbas pada kemampuan sosialnya. Asimetri hemisfer yang tidak normal menyulitkan fungsi-fungsi kebahasaan berikut:
1.      Fungsi pragmatik (penggunaan bahasa yang sesuai dengan konteks sosial, memperhatikan kebutuhan lawan bicara).
2.      Fungsi Semantik ( memaknai berbagai ragam kata sesuai konteks).
3.      Fungsi Fonologis (penggunaan Prosodi yang sesuai seperti intonasi yang tepat untuk menyampaikan maksud yang berbeda).
4.      Fungsi komunikasi non-verbal (kemampuan membaca mimik muka lawan biacra dan memanipulasi ekspresi wajahnya untuk menyampaikan pesan dalam konteks sosial yang bervariasi).

II. Afasiologi
            Gangguan berbahasa dapat bersifat lebih kompleks dari pada sekedar gangguan berbicara sebagaimana yang dijelaskan pada bab sebelumnya karena gangguan ini melibatkan kesulitan berkomunikasi dan penyandangnya mengalami kegagalan menerapkan kemampuan bahasa yang pernah diperolehnya. Pemerolehan bahasa yang merupakan proses serebral yang menyangkut proses ekspresi verbal dan komprehensi auditorik, membutuhkan kesempurnaan kinerja neuron meliputi penyimpanan masukan linguistik dan mengeluarkan kembali masukan tersebut, serta mengalihkan konsep linguistik yang tersimpan dalam bentuk kode ke dalam bentuk ekspresif saat berkomunikasi dengan orang lain.
            Proses di atas dalam neurologi termasuk fungsi luhur atau fungsi kortikal yang meliputi fungsi bahasa, persepsi, memori, emosi dan kognitif. Dengan mengetahui gangguan fungsi tersebut, maka gejala elementer yang muncul dapat di pergunakan untuk menetapkan adanya kerusakan di otak. Kerusakan tersebut selain diketahui dari observasi klinis juga melalui tes psikometrik ( contoh: Ravens Progreesive Matrices). Sebagai tahap terakhir pemeriksaan untuk mengetahui gangguan bahasa perlu dilakukan tes afasia (contoh: Token Test) yang melibatkan ahli bina wicara (kusumoputro & sidiarto, 1984).
            Afasiologi merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan Wernicke.
            Gangguan berbahasa tidak semata-mata terjadi akibat adanya lesia pada hemisfer kiri. Dominasi Hemisfer juga dapat mempengaruhi proses pemerolehan bahasa pada anak. Doman menemukan bahwa bahasa berfungsi pada hemisfer yang dominan, ketidakmampuan untuk mengendalikan organ juga berpengaruh terhadap kegiatan yang terkait kebahasaan termasuk menyimak, berbicara, membaca dan menulis. Artinya, supaya efisien anak yang kidal lebih dominan menggunakan tangan kiiri, kaki kiri, telinga kiri, dst. Demikian pula pada anak yang cenderung menggunakan bagian tubuhnya sebelah kanan. Proses penentuan dominasi ini terjadi hingga usia enam tahun.( dalam Bogdashina, 2005).
            Pada anak dengan gangguan tumbuh kembang dapat terjadi kekacauan dominasi hemidfer. Anak menerima infomasi pada satu sisi hemisfer tetapi disimpan di hemisfer yang lain yang kemudian tidak dapat diakses kembali.
            Kekacauan dominasi hemisfer dan alur akses informasi akibat gangguan tumbuh kembang disebbkan terlambatnya prose lateralisasi serebral. Hal ini kerap terjadi pada penyandang spektrum autisme. Anak-anak autis mengalami mengalami masalah integrasi hemisfer kanan-kiri. Apabila pada kebanyakan orang pemrosesan bahasa dapat terjadi secara langsung, pada anak autis hal ini membutuhkan upaya yang sangat keras. Dari hasil proses berfikir diubah menjadi tutur verbal adalah hal yang sulit sehingga perlu strategi kompensasi.
            Salah satu strategi kompensasi yaitu dengan membeo atau meniru tutur orang lain yang di hafalkan anak. Contoh: Alex bertanya kepada ibunya,’’mau kentang goreng? Dengan maksud bukan menawari kentang pada ibunya tapi dia menunggu respon balasan dari ibunya dengan pertanyaan yang sama. Ketika ibunya merespon” oh, Alex mau ibu ambilkan kentang goreng?”. Alex pun langsung menjawab”ya” (Bogdashina, 2005:150). Alex gagal menyimpan informasi bagaimana meminta sesuatu tetapi yang diingat adalah kalimat menawarkan sesuatu.

III. Penyebab Afasia
            Munculnya Afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam otak. Menurut strukturnya, otak manusia terbagi menjadi dua sisi (hemisfer), yaitu hemisfer kiri dan kanan. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa hemisfer kiri dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan hemisfer kanan dalam aktifitas nonverbal. Kemampuan verbal termasuk salah satu wujud proses mental tingkat tinggi yang banyak tergantung pada korteks serebral (cerebral cortex) terbagi menjadi dua hemisfer. Salah satu bukti bahwa aktifitas berbahasa dikendalikan oleh hemisfer kiri, yaitu hasil beberapa kajian yang menemukan bahwa pada umumnya gangguan atau cedera pada daerah tertentu pada hemisfer kiri otak cenderung diikuti oleh terjadinya afasia, sementara cedera pada hemifer kanan tidak.

IV. Jenis-Jenis Afasia
            Secara garis besar afasia terbagi menjadi ketidakmampuan ekspresif atau afasia motorik dan ketidakmampuan reseptif atau afasia sensorik. Adapun beberapa varian afasia secara rinci dijelaskan berikut ini.
1.      Afasia Motorik
            Kerusakan pada lapisan permukaan daerah Broca (Lesikortikal), atau  lapisan bawah daerah Broca (Lesi subkortikal), maupun daerah antara Broca dan Wernicke (Lesi transkortikal) dapat menyebabkan afasia motorik sebagai berikut:
a)             Afasia motorik kortikal (Afasia Broca)
Penderitannya mengalami kegagalam dalam menggunakan perkataan untuk mengutarakan maksud secara verbal. Sebagai pilihannya penderita dapat menggunakan ekspresi visual berupa tulisan atau isyarat. Adapun kemapuannya dalam memahami bahasa lisan dan bahasa tulisan tidak mengalami kendala.
            Kesulitan utamanya adalah dalam berbicara spontan, bicaranya lambat, terbata-bata, monoton, menggunakan kalimat pendek. Meskipun penyimakan bahasa secara umum baik, namun muncul kesulitan memahami kalimat dengan struktur kompleks. Pengulangan kalimat cenderung buruk dan penyebutan nama benda juga buruk. Hal ini di sebabkan kerusakan atau lesi di bagian anterior.




b)             Afasia motorik subkortikal (Afasia Wernicke)
Penderita dapat memahami bahasa baik verbal maupun visual serta dapat berekspresi secara visual melalui tulisan atau isyarat. Namun kemampuannya menghilang dalam mengeluarkan pikiran dengan perkataan selain dengan cara membeo atau berceloteh tanpa makna yang jelas.
Akibat lesi posterior di otak, penderitanya menunjukkan ciri bicara spontan dengan cepat dan kadang-kadang terlalu cepat namun tak berarti, lagu atau intonasi kalimat baik dan panjang kalimat cukup. Sering memnuculkan kata-kata baru atau neologisme. Meskipun nampaknya fasih, penderita sangat buruk dalam menyimak bahasa. Tulisannya jelek. Sama halnya dengan afasia Broca, penderitanya mengalami pengulangan kalimat dan penyebutan nama benda yang juga buruk.
c)              Afasia motorik transkortikal (Afasia konduksi)
Penderitanya mengalami gangguan dalam menghubungkan antara pengertian bahasa dan ekspresi bahasa. Misalnya penderita diminta mengambil pulpen, dia akan mampu mengenali benda tersebut dan mengambilnya. Tetapi bila di minta melabel nama benda tersebut, perkataan yang muncul bukan pulpen melainkan “tu,tu,tu,tulis”. Demikian juga jika diminta mengambil kursi dan menyebut nama benda yang diambilnya tersebut, maka yang muncul” du,du, duduk”. Kegagalan dalam hal leksikon ini juga disebut nominatif.
          Penderita dapat berbicara dengan asih, penyimakan dan penyebutan nama tidak terhambat, hanya mengalami kesulitan dalam pengulangan kalimat. Ini disebabkan cidera pada jarak antara wilayah Broca dan Wernicke.




2.      Afasia Sensorik
Gangguan berbahasa tipe ini disebabkan oleh adanya kerusakan pada daerah Wernicke (Arifuddin,2010) tepatnya didaerah lesikortikal. Penderitanya mengalami kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun dia masih dapat mengupayakan curah verbal dengan membentuk kata-kata baru yan bisa jadi tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Kata-kata baru tersebut muncul tidak beraturan karean tidak mirip atau sesuai dengan perkataan bahasa apapun. Bahasa baru atau perkataan yang asing tersebut merupakan neologisme bertolak dari ketidak mampuan memahami apa yang di dengar maupun apa yang diucapkannya sendiri.
Gangguan ini sangat kompleks karena adanya kerusakan pada leksikortikal yang merupakan kawasan asosiatif antara visual, sensorik, motorik dan pendengaran. Tidak hanya mengalami kesulitan mendengar tapi penegrtian dari yang dilihat pun terganggu. Pada penderita dengan pengertian visual yang tidak terlalu parah masih dapat diupayakan berkomunikasi secara non-verbal melalui media gambar yang sederhana.
3.      Afasia Nominal (anomik)
Penderita dapat berbicara secara spontan dan lancar. Kemampuan menyimak dan mengulang kata juga baik. Hanya bermasalah dalam penyebutan nama benda. Pada afasia jenis, penderita tidak mempunyai letak lesi yang tetap di otak.
4.      Afasia Global
Penderita mengalami kesulitan yang kompleks akibat kerusakan pada seluruh hemisfer kiri. Buruk dalam berbicara spontan atau tidak fasih, tidak dapat menyimak dan mengulang kalimat. Sangat buruk dalam penyebutan nama benda.




Obler& Gjerlow (2000:40) meringkas simtom afasia diatas dalam tabel berikut:
Afasia
Produksi bahasa
Pemahaman
Pengulangan kata
Pelabelan
Lesi/ cidera di ota
Broca
Tidak fasih
Baik
Buruk
Buruk
anterior
Wernicke
fasih
Buruk
Buruk
Buruk
posterior
Konduksi
fasih
Baik
Buruk
Buruk
Arcuate fasciculus
Anomik
Fasih substitusi kata yang dimaksud
Baik
Baik
Buruk
Tidak menetap/di segala posisi
Global
Tidak mampu
Buruk
Buruk
Buruk
luas
Motorik transkortikal
sedikit
Baik
Baik
TidakBuruk
Diluar lobus frontal
Sensorik transkortikal
fasih
Buruk
Baik
Buruk
Diluar lobus parietalis

5.      Afasia pasca stroke
Afasia atau gangguan ekspresi verbal dan nonverbal sering dijumpai pada penderita stroke. Stroke adalah gangguan peredaran darah diotak yang selain mengakibatkan gejala kelumpuhan juga berdampak pada cacat bicara apabila stroke menyerang hemisfer kiri. Penderitanya sering mengandalkan komunikasi nonverbal dengan menggunakan bagian tubuhnya (gestural). Sebaliknya, Penderita stroke lebih memahami pembicaraan orang lain apabila menggunakan gabungan ekspresi verbal/ lisan dengan non-verbal/ gestural.
Berbeda halnya apabila stroke menyerang hemisfer kanan. Penderitanya tidak mengalami kesulitan ekspresi verbal. Secara linguistik, ekspresi verbalnya benar namun tuturnya tidak disertai ekspresi nonverbal sehingga bahasanya terkesan monotan, datar, tanpa disertai gerakan tangan, muka atau mata (Cummings,1985). Perbedaan tersebut karena organisasi serebral yang berbeda. Hemisfer kiri berperan pada kemampuan linguistik seperti fungsi fonologis, morfologis, sintaksis dan semantik. Adapun Hemisfer kanan lebih berperan pada fungsi pragmatik yang mencakup gestur non verbal, melodi penekanan suara, mimik muka dan kontak mata.
Penelitian yang dilakukan terhadap penderita stroke hemisfer kiri menunjukkan cacat ekspresi verbal secara fonologis dan leksikal. Adapun cacat gramatikal dan pragmatis dapat berangsur-angsur berkurang seiring keberhasilah terapi (Sastra dkk,2001). Cacat fonologis muncul akibat terganggunya efektivitas lidah, kekakuan labial dan bilabial. Kebanyakan konsonan seperti /d,l,s,k,r/ akan berubah menjadi plosif /h/ yang lebih mudah diucapkan. Fonem /p/ menjadi /f/. Pada pengulangan leksikal sering muncul penghilagan akibat terganggunya fungsi koordinasi syaraf baik sensorik maupun motorik. Syaraf sensorik mengantarkan rangsangan dari susunan syaraf pusat ke efektor atau penggerak pada otot/ kelenjar. Akibatnya terjadi pelepasan morfem baik yang berada diawal, tengah ataupun akhir kata.
Selain cacat ekspresi fonologis dan leksikal, muncul gejala agramatisme atau struktur kalimat tidak sesempurna bentuk yang terdeteksi dari kesalahan memberi makna pada ujaran yang diberikan. Misalnya: kalimat”ini tidak dimakan ya” direspon dengan tindakan memakan makanan yang dimaksud, kalimat” belok kanan ya” direspon dengan tindakan berbelok ke kiri. Artinya penderita memahami ujaran dengan lawan kata makna yang dimaksud. Demikian pula dalam penyusunan kata masih sering terjadi pembalikan seperti” nasi-makan-belum-saya” yang diucapkann dengan keterbatasan fonologisnya untuk maksud” saya belum makan nasi”
Gejala ekolalia kerap muncul, yaitu mengulang suku kata. Berbeda dengan penyandang gagap bicara, ekolalia yang muncul akibat gangguan psikologis dan sering lupa. Apa yang sudah di ujarkan seringkali tidak didiingat penderita lagi sehingga memunculkan kesalahan penafsiran. Apabila suku kata petama mengandung konsonan yang sulit diucapkan, pengulangan suku kata akan terjadi berkali-kali dengan diiringi ekspresi non-verbal.
6.      Afasia pada bilingual
Pada awalanya diasunsikan bahwa kemampuan linguistik semua bahasa yang di peroleh akan diproses pada jaringan sel otak yang sama sehingga cidera otak akan mengganggu semua bahasa tersebut tersebut. Namun demikian hal ini tidak selamanya demikian berdasarkan hasil riset. Afasia pada bilingual memunculkan fenomena yang menarik. Charlton meneliti afasia bilingual pada sembilan penderita yang mengalami gangguan bahasa yang bersifat paralel, tujuh diantara mereka akhirnya pulih. Paradis melaporkan bahwa lebih dari separuh penderita mengalami gangguan pada semua bahasanya. Apabila pulih diawali dari satu bahasa yang paling sering digunakannya yang kemudian secara bertahap semua bahasa yang dikuasainya akan pulih (dalam Obler & Gjerlow, 2000).
Pada kasus yang lain, pemulihan bahasa pada penderita afasia bilingual tidak selalu paralel karean dipengaruhi faktor kebiasaan. Minkowski menemkan kasus afasia bilingual pasca stroke yang dapat pulih bahasa keduanya (Prancis dan jerman standar), adapun bahasa ibunya (Jerman Swiss) sepenuhnya hilang. Albert& Obler melaporkan kasus afasia bilingual pada penderita tumor yang fasih dalam bahasa keempatnya (Ibrani), masih sedikit mengingat bahasa pertama (Hungaria) dan keduanya (Prancis), sedangkan bahasa ketiganya (Inggris) hilang. Pada kedua kasus tersebut bahasa yang pulih adalah yang lebih biasa di pakai saat menjelang terjadinya afasia (dalam Obler&Gjerlow, 2000).
Afasia bilingual jga dapat terjadi pada bahasa isyarat. Haglund mengamati afasia bilingual pada seorang wanita yang sebelum terserang sakit kejang menguasai bahasa Inggris dan ASL (American Sign Language) yang didapatnya sejak kecil karena kakaknya tunarungu. Kemampuannya melabel benda baik dalam bahasa Inggris maupun ASL terganggu. Lesi pada area Broca menyebabkan gangguan berbahasa Inggris dan produksi ASL. Setelah menjalani operasi pada lobus temporalis anterior kemampuan menghasilkan gesture mulai pulih meskipun masih bermasalah sedangkan kemampun eja jarinya sedikit terganggu. Hal ini menunjukkan bahwa area lobus temporalis anterior lebih berperan dalam bahasa isyarat dari pada bahasa lisan (dalam Obler &Gjerlow, 2000)

7.      Afasia Progresif
Afasia progresif tidak terjadi sebagai akibat stroke atau cidera otak melainkan muncul akibat serangan penyakit pada otak. Gejalanya mirip dengan penderita Dementia namun tidak diiringi dengan perubahan kognitif. Dalam berbahasa tidak muncul kesulitan pemahaman namun menemui kendala dalam menemukan kata-kata yang tepat (finding words) dalam senarai kosa kata yang tidak lazim dipakai,contoh: disertasi, jarum, musang, dll. Penederita afasia progresif juga kesulitan dalam mengeja secara tepat.
Secara umum afasia memiliki perbedaan yang cukup signifikan jika di bandingkan dengan gangguan berbahasa lainnya sebagaimana yang dikategorikan berikut ini oleh Goorhuis& Schaerlaekens dalam Tiel (2010)





Afasia
Gangguan bahasa spesifik(Specific language impairment)
Gangguan bahasa non Spesifik
Hilang secara tiba-tiba kemampuan bicara dan berbahasa       
              

Gejala yang menunjukkan adanya cedera otak
Perkembangan tidak mencukupi (adekuat) dalam perkembangan bicara dan bahasa

Perkembangan yang berbeda namun sesungguhnya masih merupakan perkembangan yang normal
Perkembangan yang tidak mencukupi (Adekuat) dalam perkembangan bicara dan bahasa)
-kurang pendengaran
-Retardasi mental
-Masalah-Masalah neurologik dan psikiatrik anak
-Gangguan sosial
Gangguan kesehatan














KESIMPULAN

Neurolinguistik dan Afasiologi merupakan isu baru dalam dekade terakhir yang mengkaji dan menguraikan relasi antara bahasa dan otak. Teknik dan konsep yang berkontribusi pada dua kajian tersebut diantaranya dari perspektif linguistik, psikolinguistik, neuroatonomi, kecerdasan buatan, dan bidang medis.  Seluruhnya mengarahkan pada temuan mengenai gangguan berbahasa berbahasa yang bertujuan pada pemahaman yang lebih komprehensif tentang relasi bahasa dan otak.
Afasiologi merupakan kajian tentang afasia dan perkembangannya yang menjelaskan jenis-jenis gangguan berbahasa akibat kerusakan di hemisfer kiri yang bertanggung jawab dalam pemrosesan bahasa yaitu khususnya pada area Broca dan Wernicke.

Penyebab Afasia
Munculnya Afasia disebabkan oleh adanya cedera bagian tertentu dalam otak. Menurut strukturnya, otak manusia terbagi menjadi dua sisi (hemisfer), yaitu hemisfer kiri dan kanan. Pendapat yang paling umum menyatakan bahwa hemisfer kiri dominan berperan dalam fungsi kebahasaan atau verbal, sedangkan hemisfer kanan dalam aktifitas nonverbal.
Jenis-Jenis Afasia
            Afasia Motorik, Afasia Sensorik, Afasia Nominal (anomik), Afasia Global, Afasia pasca stroke, Afasia pada bilingual, Afasia Progresif








DAFTAR PUSTAKA

           
            Bogdashina,o,2005, Communication Issues in Autism and as perger syndrome: Do we Speak the some language. London: Jessica kingsley Publisher.
            Cummings,J.L.1985. Hemispheric Specialization: A History of current concep. Clinical Management of Right Hemisphere Dysfunction. Maryland: Aspen System Co.
            Caplan, D.1998 Neurolinguistics and linguistics Aphasiology. An Introduction. Cambridge: The Press Syndicate of the University of Combridge.
            Gleason,J.&Ratner, M. 1998 Psycholinguistics: 2nd edition, Victoria: wadsworth thomson learning.
             Kusumoputro, S,& Sidiarto,L. 1984. Gangguan bahasa. Persepsi dan memori pada kelainan otak. Cermin Dunia Kedokteran.
            Obler, L.K& Glerlow, k.2000 language and the Brain. Cambridge: university Press.
            Schovel, T.2004. Psycholinguistics: oxford introductions to language study. Oxford: Oxford University Press.