Senin, 04 Maret 2013

"Bahasa antara" (interlanguage)



"Bahasa antara" (interlanguage)

PENDAHULUAN
1.1.  Latar belakang
Dalam hal bahasa antar bahasa banyak mengkaji teori dan metodologi yang berbeda dari pendekatan dan performansi pembelajar. Perbedaan yang paling jelas adalah dalam hal ”sikap” terhadap performansi pembelajar, terutama dalam hal ”kesalahan”. Anakes tradisional menganggap bahwa kesalahan sebagai hal yang berbahaya dan berupaya untuk memberantasnya. Dalam kerangka kerja antar bahasa terdapat penyimpangan-penyimpangan dari norma-norma bahasa sasaran sebagai eksponen-eksponen sistem pembelajar. Yang kedua, perbedaan yang paling penting adalah Anakon secara eksklusif sangat memperhatikan atau menaruh perhatian besar terhadap aspek performasi pembelajar yang ciri-ciri bahasa ibunya. Maka Antar Bahasa menghindari pembatasan ini. Interferensi bahasa ibu atau bahasa asli hanyalah merupakan salah satu sarana eksplanatori (penjelasan) di dalam daftar atau perbendaharaan sang peneliti  Antarbahasa.
Antarbahasa memang lebih ampuh secara eksplanatori lantaran mencakup daya eksplanatori Anakon, memperkuat, memperluas dan menyumbangkannya. Secara metodologis Antarbahasa dapat dikatakan menyatukan asumsi-asumsi Anakon dan Anakes. Kalau Anakon mempertentangkan atau menkontraskan bahasa ibu pembelajar dan bahasa sasaran, dan Analisis konversional melibatkan pertentangan antara performansi pembelajar dengan bahasa sasaran. Oleh karena itu Antarbahasa sangat memperhatikan serta memanfaatkan  tiga hal tersebut. Secara eksplisit menggabungkan Antarbahasa pembelajar dengan bahasa asli maupun bahasa sasaran. Perbedaannya adalah bahwa Antarbahasa dan Analisis kontrastif merupakan suatu sarana penyaring awal, merintis jalan bagi pengujian hipotesis-hipotesis mengenai aneka faktor penentu bahasa pembelajar lainnya (Sridhar, 1985 : 232).


1.      interlanguage
"Bahasa antara" (interlanguage) ialah bahasa seseorang yang sedang mempelajari bahasa lain; "bahasa antara" berbeda dari bahasa ibu dan dari bahasa yang sedang atau telah dipelajari. Dengan kata lain, bahasa antara (selanjutnya ditulis BA) atau "interlanguage" ialah bahasa yang kedudukannya berada di antara bahasa ibu dan bahasa sasaran yang sedang dipelajari (Namser, 1971a; Selinker, 1972). Oleh karena itu, BA mempunyai tata bahasa dan ciri-cirinya sendiri (Corder, 1971a; Adjemian, 1976). Dengan demikian, BA dianggap sebagai suatu bahasa yang juga mempunyai sistem sendiri sebagaimana bahasa alami (natural language) lainnya.
Dalam pemerolehan bahasa kedua (second language Acquisition) terdapat antarbahasa (interlanguage) yang bukan bahasa sumber (native language) dan bukan bahasa sasaran (target language). Berikut akan dibahas lebih rinci tentang cabang liguistik yang lain yaitu Kajian Bahasa Antara (Interlanguage Study). Menilik asal kata interlanguage, berasal dari kata “inter” dan “language.
Interlanguage adalah bahasa yang mengacu kepada sistem bahasa di luar sistem B1 dan kedudukannya berada di antara B1 dan B2 (Selinker, 1972). Istilah lain adalah approximative system dan idiosyncratic dialect. Kajian studinya menghasilkan analisis kegalatan (error analysis) dan membedakannya dengan mistake.
            Kajian bahasa antara membahas fenomena kebahasaan yang muncul (emergence) akibat interaksi antarbahasa, bukan pada hasil akhir proses interaksi tersebut (catatan: berupa kemampuan berbahasa kedua atau asing dan terjemahan). Analisis kontrastif merupakan bagian dari kajian bahasa antara. Lingkup kajiannya membahas proses yang terjadi dari persinggungan dua atau lebih bahasa, daripada fenomena yang ditimbulkan dari persinggungan itu sendiri. Oleh karena itu, kontrastif analisis lebih bersifat diakronik daripada sinkronik. Hal ini disebabkan karena fokus pembahasan tentang proses tersebut membutuhkan waktu untuk mencari asal mula ataupun aspek historis penyebab proses tersebut. Bagaimanapun, kajian Bahasa Antara sebagai analisis bersifat diakronik dalam sebuah pengertian yang sedikit berbeda daripada yang disinggung oleh Saussure. Saussure menyuguhkan tentang pengertian evolusi bahasa yang terkait dengan sejarah atau filogeni yang menyinggung perubahan pada generasi-generasi dan secara berabad-abad..
Beberapa contoh akan memperjelas pernyataan tersebut. Pertama, ada penelitian tentang pemerolehan bahasa pada bayi, yang baru-baru ini dilontarkan Brown ( 1973). Slobin (1971) memberi nama sebuah antologi penelitian tersebut dengan nama The Ontogenesis of Grammar. Sejak anak membuat kemajuan dari sama sekali tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa lisan sampai pada tahap penguasaan yang memadai pada usia lima tahun, dan sejak hanya satu bahasa yang dikuasai, pada hakikatnya kajian tentang bahasa anak tidak lagi dibicarakan sebagai sebuah bentuk kajian Bahasa Antara. Tetapi kajian tentang bahasa kedua atau pemelajaran bahasa asing terkait dengan proses seseorang dari ekabahasawan (monolingual) menjadi dwibahasawan (bilingual). Dalam hal ini ada 2 (dua) bahasa yang dilibatkan dalam proses pemelajaran yaitu L1 dan L2.
Oleh karena itu, James menyebutkan ada tiga cabang kajian dalam linguistik interlingual (yang melibatkan dua bahasa), yaitu (1) teori penerjemahan yang terkait dengan proses mengubah teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa target; (2) analisis kesalahan; (3) analisis konstrastif. Analisis kesalahan dan analisis kontrastif dipakai dalam ruang lingkup proses monolingual menjadi bilingual.
2.      Tahapan Perkembangan Bahasa-antara
Secara ringkas teori tahapan perkemba-ngan bahasa antara menurut Corder (1973) dapat dirangkum sebagai berikut
a.Tahapan Kegalatan Acak
Pertama Si-Belajar berkata *Mary cans dance" sebentar kemudian diganti menjadi "Mary can dance".
b. Tahapan kebangkitan
Pada tahapan ini Si-Belajar mulai menginternalisasi beberapa kaidah bahasa kedua tetapi ia belum mampu membetulkan kesalahan yang dibuat penutur lain.
c. Tahapan Sistematik
          Si-Belajar sudah mampu menggunakan B2 secara konsisten walaupun kaidah B2 belum sepenuhnya dikuasainya.
d. Tahapan Stabilisasi
Si-Belajar relatif menguasai sistem B2 dan dapat menghasilkan bahasa tanpa banyak kesalahan atau pada tingkat post systematic menurut Corder.
2.1.      Proses Antarbahasa
   Menurut Selinker terdapat fenomena-fenomenayang menarik dalam performansi Antarbahasa adalah butir-butir, kaidah-kaidah, dan subsistem yang dapat difosilisasikan dengan bantuan lima proses Antarbahasa, diantaranya adalah:
1.      Transfer bahasa (language transfer)
2.      Transfer latihan (transfer of training)
3.      Siasat pembelajaran bahasa kedua (strategies of second language learning)
4.      Siasat komunikasi bahasa kedua (strategies of second language communication)
5.      Penyamarataan yang berlebihan mengenai bahan linguistik bahasa sasaran (overgeneralization of target language linguistik material)
Secara  eksperimental butir-butir, kaidah-kaidah, dan subsistem-subsistem yang dapat difolisasikan dalam performansi Antarbahasa adalah merupakan akibat dari bahasa asli.
Selinker menghipotesiskan bahwa kalimat proses yang berisi kaidah-kaidah dan ciri-ciri bahasa sasaran merupakan inti dari pembelajaran bahasa kedua. Kelima proses di atas sangat penting bagi pembelajaran dan pemerolehan bahasa kedua karena masing-masing dapat memaksa butir-butir, kaidah-kaidah, dan subsistem yang terfolisasi muncul dan mungkin tetap berada di dalam Antarbahasa dalam waktu yang tidak terbatas. Kombinasi dari kelima proses tersebut dikenal dengan Kompetensi Antarbahasa yang terfolisasi (Richards [ed], 1985 ; 37).


Sedangkan bila ditinjau dari sudut pandang ”kesalahan” maka dapat dinyatakan, bahwa:
1.      Transfer Bahasa adalah interferensi bahasa ibu atau B1 kepada bahasa sasaran atau B2;
2.      Transfer Latihan adalah kesalahan yang berkaitan dengan hakiakt bahan-bahan pembelajaran bahasa dan pendekatan-pendekatannya sendiri;
3.      Siasat Pembelajaran bahasa kedua adalah kesalahan yang berkaitan dengan pendekatan sang pembelajar pada bahan atau bahasa yang dipelajari;
4.      Siasat Komunikasi bahasa kedua adalah kesalahan yang berkaitan dengan cara sang pembelajar yang berupaya berkomunikasi dengan para penutur asli di dalam situasi pemakaian bahasa secara alamiah; dan
5.      overgeneralisasi kaidah-kaidah bahasa sasaran adalah kesalahan yang berkaitan dengan sang pembelajar menstrukturkan kembali dan mengorganisasi kembali bahan linguistik atau materi kebahasaan (Omagio, 1986 : 276)

Transfer bahasa
(Language transfer)
Overgenerali-
    sasi Kaidah-kaidah  
  bahasa sasaran (Overgeneralization
of target language
   rulles)
Proses
Antarbahasa
Transfer latihan
(Transfer of training)
Siasat pembelajaran B2
(Stategis of L2 learning)
Siasat komunikasi Bw
(Storage of L2 communication)
 









Gambar 25 : Lima proses Antarbahasa




Adapun bentuk-bentuk permukaan ucapan-ucapan Antarbahasa antaralain :
a)      Ucapan Ejaan (Spelling Pronunciations) ; sang pembicara mengucapkan kata-kata sesuai dengan ejaannya. Sebagai contoh, orang Indonesia mengucapkan kata-kata Inggris:
·         working paper  diucapkan  [working peiper]
·         pioneer             diucapkan  [pioneer]
b)      Ucapan Sanak (Cognate Pronunciation) ; sang pembicara mengucapkan kata-kata yang sama asalnya,contoh, orang Indonesia mengucapkan kata-kata Inggris:
·         athelete    diucapkan  [atlit]
·         domestic  diucapkan  [domestik]
c)      Belajar Holofrase (Holofrase Learning); contoh gabungan dari frasa Inggris:
·         half an-hour  dibentuk one half an-hour
·         dalam bahasa Indonesia ;
dua puluh lima-dua puluh dan lima
dua puluh delapan-tiga puluh kurang dua
d)      Hiperkoreksi (Hypercorrection); contohnya:
·         menerangkan diucapkan menerangken
·         makin diucapkan mangkin
·         mantap diucapkan mantep













Teori Behaviorisme

            Teori Behaviorisme diperkenalkan oleh John B, Watson (1878-1958), Seorang ahli psikologi berkebangsaan Amerika. Di Amerika Serikat, Watson dikenal sebagai bapak Behaviorisme karena prinsip-prinsip pembelajaran barunya berdasarkan teori Stimulus-Response Bond (S-R Bond). Menurut Behaviorisme yang dianut oleh Watson,Tujuan utama psikologi adalah membuat prediksi dan pengendalian terhadap perilaku, dan sedikitpun tidak ada kaitannya dengan kesadaran. Yang dapat dikaji oleh psikologi menurut teori ini adalah benda-benda atau hal-hal yang dapat diamati secara langsung, yaitu rangsangan (Stimulus)dan gerak balas (respons), sedangkan hal-hal yang terjadi dalam otak tidak berkaitan dengan kajian. Maka dalam proses pembelajaran, Menurut Watson, Tidak ada perbedaan antra manusia dan hewan.
            Teori behaviorisme dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi  antara stimulus dan respon(Slavin,2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
            Dalam hal pembelajaran bahasa, pendekatan behaviorisme menumpukan perhatiannya pada aspek yang dapat dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa dan hubungan antara respon dan peristiwa didunia yang mengelilinginya. Menurut kaum behavioris, bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia. Seorang behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakn hasil respon tertentu yang dikuatkan, respon itu akan menjadi kebaisaan atau terkondisikan. Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut pandang behavioris ialah yang dikemukakan ileh sjinner (1957) dalam herbal Behavior. Teori skinner tentang perilaku verbal merupakan perluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi dimana manusia atau binatang mengirimkan respon atau operant (ujaran atau sebuah kalimat), tanpa adanya stimulus yang tampak. Operant itu di pertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang anak kecil mengatakn minta susu dan orang tuanya memberi susu, Operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus-menerus operant semacam itu akan terkondisikan. Menurut skinner, perilaku herbal, seperti perilaku yang lain, dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan dan kekuatan serta frekuensinys sksn terus dikembangkan bial akibatnya hukuman,
            Guru yang menggunakan paradigma Behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan pembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hirarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.

TEORI MENTALISME / NATIVISME
Berbeda dengan kaum behaviorisme, kaum nativis atau mentalis berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama, sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan.
Pada hakikatnya aliran nativisme menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Oleh karena itu, faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari orang tua. Istilah Nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat.
Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Prinsipnya, teori Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya ahli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia serta kemampuan lain yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misal, seorang anak yang berasal dari keluarga seniman musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi orang tuanya atau mungkin juga hanya setengah dari kemampuan kedua orang tuanya.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini dipelopori oleh filosiof Jerman, Arthur Schopenhauer yang beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan anak dalam teori Nativisme:
1. Faktor Genetik.
Faktor genetik adalah faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia.
2. Faktor Kemampuan Anak.
Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
3.      Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan responsif terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal, maka anak tersebut tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki. Chomsky (1959) menyerang sangat tajam teori behaviorisme yang ditokohi Skinner. Menurut Chomsky, tingkah laku manusia jauh lebih rumit daripada tingkah laku binatang, tikus. Dengan kerumitannya itulah sehingga mustahil pemerian stimulus eksternal dan respons mampu menentukan tingkah laku bahasa. Bagi Chomsky, yang mampu memikul tanggung jawab tingkah laku bahasa hanyalah kemampuan bawaan (inner comprephrension). Spekulasi Skinner itu bersifat premature dalam arti berlaku pada tahap paling awal sebelum seseorang atau anak memeroleh pengertian yang lebih baik dari sistem linguistik yang dipelajarinya (Hamid dalam Tolla, 1990:15).
Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurutnya, tidak ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur-dalam organisme, yakni bagaimana cara – cara organisme memproses masukan informasi dan bagaimana cara – cara perilaku berbahasa itu diatur.
Untuk lebih memperkuat teorinya atau hipotesisnya Chomsky mengajukan hal – hal berikut.
1. Proses – proses pemerolehan bahasa pada semua anak – anak boleh dikatakan sama.
2. Proses pemerolehan bahasa tidak ada kaitannya dengan kecerdasan. Maksudnya, anak yang IQ-nya rendah juga memeroleh bahasa pada waktu dan cara yang hampir sama.
3. Proses pemerolehan bahasa juga tidak dipengaruhi oleh motivasi dan emosi anak – anak.
4. Tata bahasa yang dihasilkan oleh semua anak – anak boleh dikatakan sama.
Salah seorang penganut teori mentalisme adalah Lennenberg (1967). Ia berpendapat bahwa bahasa merupakan species-specific dengan cara tertentu dalam perilaku bahasa yang ditentukan secara biologis. Bahasa adalah mekanisme yang bersifat bawaan yang disebut alat pemerolehan bahasa (LAD) dan yang memungkinkan seorang anak memformulasikan sistem bahasa yang bersifat abstrak. Mekanisme bahasa yang bersifat bawaan bekerja sesuai urutan dan aturan berikut;
Apabila anak disuruh menggunakan bahasa, mekanisme ini berpacu dan memformulasikan hipotesis struktur bahasa yang memungkinkan terjadinya kontak. Hipotesis secara tetap diperiksa kembali oleh mekanisme tersebut melalui penggunaan bahasa (Said dalam Tolla, 1990). Tingkatan ini tercapai apabila anak sudah dapat menggunakan satu atau dua kata dalam tuturannya. Proses ini berjalan terus dan mengalami banyak kesalahan, tetapi kesalahan tersebut diperiksa kembali sampai anak menguasai tata bahasa secara tepat.
Rangkaian selanjutnya adalah lingkungan memberikan sumbangan yang terus-menerus dalam proses perkembangan mental dan kepribadian. Faktor bawaan diperkaya dan dikembangkan oleh faktor lingkungan dalam bentuk pengalaman, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Chomsky (1978) dalam Ide Said (1987) mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan penganut faktor bawaan dan penganut faktor lingkungan. Sebagian ahli psikologi menekankan faktor lingkungan dan sebagian lagi menekankan faktor bawaan. Faktor – faktor keturunan yang berhubungan dengan faktor lingkungan ini dalam perkembangan selanjutnya banyak dipertanyakan oleh para ahli.
Manusia mempunyai bakat untuk terus – menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus merevisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di masyarakat/lingkungannya.

         Tujuan-Tujuan Teori Nativisme
            Di dalam teori ini menurut G. Leibnitz:Monad “Didalam diri individu manusia terdapat suatu inti pribadi”. Sedangakan dalam teori Teori Arthur Schopenhauer (1788-1860) dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir/bakat. Sehingga dengan teori ini setiap manusia diharapkan :
a.       Mampu memunculkan bakat yang dimiliki
Dengan teori ini diharapkan manusia bisa mengoptimalkann bakat yang dimiliki dikarenakan telah mengetahui bakat yang bisa dikembangkannya. Dengan adanya hal ini, memudahkan manusia mengembangkan sesuatu yang bisa berdampak besar terhadap kemajuan dirinya.
b.      Mendorong manusia mewujudkan diri yang berkompetensi
Dengan teori ini diharapkan setiap manusia harus lebih kreatif dan inovatif dalam upaya pengembangan bakat dan minat agar menjadi manusia yang berkompeten sehingga bisa bersaing dengan orang lain dalam menghadapi tantangan zaman sekarang yang semakin lama semakin dibutuhkan manusia yang mempunyai kompeten lebih unggul daripada yang lain.
c.       Mendorong manusia dalam menetukan pilihan
Dengan adanya teori ini manusia bisa bersikap lebih bijaksana terhadap menentukan pilihannya, dan apabila telah menentukan pilihannya manusia tersebut akan berkomitmen dan berpegang teguh terhadap pilihannya tersebut dan meyakini bahwa sesuatu yang dipilihnya adalh yang terbaik untuk dirinya.
d.      Mendorong manusia untuk mengembangkan potensi dari dalam diri seseorang
Teori ini dikemukakan untuk menjadikan manusia berperan aktif dalam pengembangan potensi diri yang dimilii agar manusia itu memiliki ciri khas atau ciri khusus sebagai jati diri manusia.
e.       Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki
Dengan adanya teori ini, maka manusia akan mudah mengenali bakat yang dimiliki, denga artian semakin dini manusia mengenali bakat yang dimiliki maka dengan hal itu manusia dapat lebih memaksimalkan baakatnya sehingga bisa lebih optimal.


2 komentar:

  1. untuk bahasa antaranya dr buku mana ya? mohon informasinya.

    BalasHapus
  2. untuk referensinya dari mana aja ya?

    BalasHapus